Senin, 07 Februari 2011

IMPLIKASI KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH TERHADAP HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Oleh: Eko Supeno

KENDALA-KENDALA

Meskipun desentralisisai memiliki tujuan dan manfaat yang besar dalam membangun demokrasi, partisipasi, perencanaan pembangunan yang lebih realisitis, pemerintahan yang akuntabel, dan meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam pelaksanaannya memiliki beberapa kendala, diantaranya adalah:
 
q       Kebanyakan pada negara-negara sedang berkembang, karena memiliki kemampuan terbatas maka mereka sering terjepit dalam simpang jalan antara sentralisistis untuk kepentingan pengukuhan kebangsaan (nation building) dengan desentralistis sebagai dukungan dan kontrol lokal dalam penyelenggaraan pembangunan.

q       Dalam prakteknya, negara-negara sedang berkembang, seringkali ada bias yang menonjol dan meluas yang nyata-nyata mengukuhkan peran dominan pemerintah pusat/sentral dibanding lokal. Bias sentral ini didasarkan pada tiga faktor yaitu: (White dan Bryant)
1.      Faktor struktural, pemerintah pusat masih menggenggam sebagain besar kekuasaan formal;
2.      Faktor politik, masalah pembangunan suatu bangsa dan mengoptimalkan sumber-sumber daya langka telah memperkuat kekuasaan dan visibilitas pemerintah pusat; misalnya: kebinekaan etnik seringkali menimbulkan ketegangan, SDM yang terbatas, politik birokratik.
3.      Faktor legitimasi, masyarakat memberi legitimasi yang lebih besar pada pemerintah pusat dibanding pemerintah di tingkat lokal. Hal ini disebabkan karena sejarah kolonialisme yang meninggalkan semangat nasionalisme dibanding semangat kedaerahan yang seringkali dituduhkan sebagai faktor pemecah belah persatuan dan kesatuan.

q       Dalam kasus di Indonesia,  implementasi otonomi masih terdapat beberapa kesalah pahaman   yaitu:
q       Otonomi selalu dikaitkan dengan uang. Daerah seakan tidak berdaya jika tidak memiliki sumber-sumber keuangan yang besar dalam membiayai kebutuhan daerah. Kondisi ini merupakan gambaran keterbatasan sistem informasi keuangan. Sistem informasi dan manejemen lainnya dalam pemerintahan cenderung terfokus pada ketersediaan dan penggunaan input dan bukan pada biaya untuk menghasilkan output dan pelayanan. Tidak terdapat analisis dan standar baku trerhadap biaya pemberian pelayanan pada level daerah. Ini akan menyulitkan pemerintah otonomi untuk mengetahui berapa sumber keuangan yang dibutuhkan untuk desentralisasi, baik itu dalam bentuk pendapatan lokal ataupun transfer antar pemerintah.
q       Ketidak siapan daerah dalam mendapatkan perluasan urusan karena kurangnya pengalaman dan kapasitas organisasi. Pemerintah pusat dan daerah kurang memiliki pengalaman dan pengetahuan di dalam memenej, merencanakan dan melaksanakan pelayanan yang terdesentralisasi. Terjadi kebingunan di dalam emembedakan antara tanggung jawab, wewenang peran pemerintah daerah dengan pusat. Juga masih ada kecenderungan utnuk menunggu persetujuan atau instruksi darai atasan, walaupun fakta memperlihatkan bahwa hubungan hirarki antara leve-level pemerintah telah dihapus oleh undang-undang.
q       Pusat melepaskan diri dari tanggung jawabnya untuk membantu dan membina daerah
q       Daerah merasa dapat melakukan apa saja tanpa memperhatikan potensi dan kemampuan yang dimilikinya
q       Munculnya raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi di daerah.
q       Desentralisasi mungkin tidak mengarah untuk meningkatkan partisipasi. Salah satu prinsip utama undang-undang tentang otonomi daerah adalah meningkatkan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan melalui administrasi pemerintah daerah yang lebih responsif. Namun dalam prakteknya, kebiajakn-kebjakan diambil oleh KDH atau DPRD seringkali mengabaikan kepentingan masyarakat kecuali hanya untuk kepentingan politik atau kelompok mereka. Disamping itu masih banyak kebijakan-kebijakan yang masih bersifat ‘top-down’.  Konsekuensi dari kondisi seperti ini, secara tidak langsung akan membangun persepsi masyaraklat bahwa desentrasasi atau otonomi daerah hanya pada tataran politis bukan pada implementasi. Selanjutnya, anggota masyarakat dapat saja merasa enggan menggunakan hak dan kewajibannya untuk berpartisipasi dalam proses politik, seperti; PILKADA, proses pembangunan mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan monevnya, mungkin mereka tidak tahu atau tidak adar, ataupun karena mereka tidak percaya terhadap sistem yang akan memperjuangkan kebutuhannya, 

Bahan bacaan:
1.       C. Bryant & L.G. White, Manajemen Pembangunan untuk Negara Sedang Berkembang, Jakarta: LP3ES, 1990
2.       Kartiko Purnomo, Administrasi Pemerintahan Daerah II, Jakarta: Modul UT, 1995
3.       Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara RI,  Jakarta: Raja Grafino Persada, 2001
4.       Sarundajang, Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001
5.       Analiis CSIS, Otonomi Daerah Penyelesaian atau Masalah, No. 1 tahun XXIX/2000
6.       Syaukani, Afan Gafar, dan Ryas Rasyid, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2002

Peraturan Perundangan
7.       UU No. 5/1974, UU No. 22/1999, dan UU No. 25/1999
8.      PP No. 25/2000, PP No. 84/2000, PP No. 104/2000, PP No. 105/2000, PP No. 106/2000, PP No. 107/2000 dan PP No. 108/2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar